Review Jujur Film Bumi Manusia
Malam 17 Agustus 2019, studio 2 The Breeze hampir
penuh diisi penonton. Pemandangan aneh nampak pada pukul 21.45 jelang film
dimulai. Semua penonton berdiri, menyanyikan lagu Indonesia raya. Merinding,
bukan karena dingin penyejuk ruangan saja namun lebih ke suasana syahdu yang
tersaji sebagai opening film Bumi Manusia.
Diangkat Dari Buku
Ada yang sudah membaca buku Tetralogi Buru? BUku
yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ini pernah dilarang beredar. Sebuah keanehan
bagi saya yang membacanya di tahun 2015. Apa yang salah dengan buku ini? Justru
bagi saya, buku BUmi Manusia adalah salah satu yang mengubah cara pandang akan
kehidupan.
Kecintaan saya terhadap Indonesia tumbuh seketika
saat membaca Tetralogi buru ke-1, nya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul BUmi
Manusia. Sebelum dicetak ulang dan beredar seperti sekarang, saya rela membeli buku super tebal nan mahal itu
dari Jogja. Maklum, dulu buku ini kan terlarang. Tak hanya itu, Pandanganku
akan kaum wanita, hukum di Indonesia, dan sejarah, diaduk-aduk rasanya.
Novel yang wajib dibaca orang Indonesia saya rasa.
Sebagai jendela ke masa saat negara ini sedang dalam tawanan bangsa lain.
Katanya sih, kita akan terlihat pintar kalau pegang buku ini…hahahhaha. Bumi
Manusia ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa serta memenangkan
beberapa penghargaan di dalam maupun luar negeri.
Review Cerita Bumi Manusia
Saya yang tumbuh di tahun 90an dan membaca buku BUmi
Manusia di tahun 2015, sangat tercengang dengan kondisi Indonesia saat itu
(akhir 1800an). Tentang wanita yang bisa seenaknya diambil sebagai gundik
(istri tanpa ikatan apapun), tentang pendidikan formal yang hanya bisa
dinikmati orang Eropa, Indo, atau pribumi kaya raya, dan yang lebih mengenaskan
adalah…tentang jaminan hukum yang sama sekali tidak ada. Bagaimana seorang
pribumi warga Indonesia pernikahannya dianggap tidak sah? Ya..karena belum ada
pencatatan sipil seperti sekarang.
Bagaimana seorang pribumi warga Indonesia
dianggap melanggar hukum Belanda? Karena di Indonesia tidak ada hukum yang
ditetapkan.
Jendela ke masa lalu. Kita harus tahu kondisi negara
kita saat itu. Buku sejarah di sekolah tak cukup, ya..benar..tak cukup.
Pemilihan Tokoh Bumi Manusia
Mengapa IQBAAL? Hahah mungkin karena lagi tenar. Untung
saja enggak maksain pakai Ryo Dewanto atau Reza Rahardian. Soalnya Minke kan
memang anak ABG ceritanya. Jujur saja imajinasi saya akan sosok Minke buyar.
Iqbaal wajahnya kurang Jawa, tapi semua itu bisa tertutupi dengan fasihnya dia
mengucapkan kalimat-kalimat dalam Bahasa Jawa sih.
Jujur saja, yang aktingnya paling TOP menurut saya
justru si Ibunda nya Iqbaal. Mimik, dialog, dan karakternya pas banget untuk
seorang wanita ningrat yang jiwa keibuanya sangat tinggi tapi tegas.
Yang lucu, ada adegan Minke bangun tidur dengan
celana abu-abu dan baju putih. Saya seakan jetlag dan merasa itu Dilan ahahha. Engga
ada bedanya sih.
Detail Properti Film Bumi Manusia
Ketika nonton Bumi Manusia, hal yang menjadi
perhatian adalah “detail banget sih propertinya!”. Ternyata Hanung Bramantyo
memang sudah punya Studio lapang sendiri untuk pembuatan film ini. Studio ini
terletak di Jogja, dan tidak hanya digunakan untuk film Bumi Manusia. Rumah,
gapura, kampung, memang sudah didesain sedemikian rupa.
Tapi bagi yang memahami militer mungkin akan
berpikir lain. Apakah kamu sadar ini? seragam polisi Belanda yang mirip serdadu security dengan senapan mirip Arisaka,
senapan khas Jepang dengan topi lebar bak serdadu musketeer dari
Prancis, Seragam opsir Belanda-nya pun justru nampak seperti baju koko.
Hayo….
Bahasa Kekinian Dalam Dialog
Kesan jadul yang sudah mantap lewat properti
berkurang karena pemilihan dialog. Menurut saya sih, Bahasa yang digunakan
terlalu kekinian. Bukan soal diksi, melainkan cara pengucapan. Terutama tokoh Annelies,
seperti anak gaul tahun 2019 saja.
Mungkin niatnya biar penonton lebih memahami sih ya.
Beda dengan Bahasa di buku Bumi Manusia yang memang dibuat ala 1800an, lebih
banyak pakai Bahasa Melayu.
Masih berkaitan dengan dialog nih. Ternyata film ini juga menghindari rasisme, salah satunya adalah penggunaan kata "Tiongkok" yang menggantikan "Cina".
Masih berkaitan dengan dialog nih. Ternyata film ini juga menghindari rasisme, salah satunya adalah penggunaan kata "Tiongkok" yang menggantikan "Cina".
Durasi 3 jam
Oiya, film Bumi Manusia durasinya 3 jam. Tapi engga
kerasa sih, dan engga ngantuk juga. Padahal sudah ekspektasi bakal ketiduran,
apalagi kedapatan nonton yang midnight.
Perbedaan dengan buku
Ada banyak hal yang beda, tapi yang patut
disayangkan adalah hilangnya bagian penting. Hanung
melupakan perkenalan Minke dengan anak bupati asal Jepara (Kartini) yang sempat
dikaguminya semasa ELS.
Dalam film, hakim hanya memvonis Nyai
Ontosoroh terbebas dari segala tuduhan. Padahal jelas-jelas Pram mengungkap
hakim Landraad memvonis Baba Ah Tjong hukuman penjara 10 tahun dan kerja paksa.
Pram tak pernah menyebut nama Tirto
meski Minke adalah “penjelmaan” dari tokoh pers nasional itu. Pram hanya
menyebut RM Minke anak Bupati B (merujuk Bojonegoro). Di Film, Hanung
jelas-jelas menyatakan Minke adalah Tirto Adisuryo.
Teknik Sinematografi
Dari sisi sinematografi lumayan lah ya, sejauh ini
engga nemu scene bocor atau hal aneh-aneh lain. Seperti kebiasaan Hanung, tidak
ada permainan plot atau efek yang membuat penonton mikir dulu sebelum memahami
sebuah adegan.
Di bagian awal film, ada adegan kerumunan warga merayakan pelantikan Ratu Wilhelmina. Agak curiga itu CGI. Dan sepertinya memang terdapat ketidaksempurnaan. Coba lihat deh, cara jalan orang-orang di scene tersebut.
Di bagian akhir pas adegan Rumah Nyi Ontosoroh diserang, koreo dari para pemain saat berduel terlihat sangat dipaksakan. Mungkin memang talentnya bukan spesialis laga, atau engga dipersiapkan secara matang biar scene action tersebut lebih manis.
Di bagian awal film, ada adegan kerumunan warga merayakan pelantikan Ratu Wilhelmina. Agak curiga itu CGI. Dan sepertinya memang terdapat ketidaksempurnaan. Coba lihat deh, cara jalan orang-orang di scene tersebut.
Di bagian akhir pas adegan Rumah Nyi Ontosoroh diserang, koreo dari para pemain saat berduel terlihat sangat dipaksakan. Mungkin memang talentnya bukan spesialis laga, atau engga dipersiapkan secara matang biar scene action tersebut lebih manis.
Kesimpulan
Overal 7.5 dari 10. Salut untuk totalitasnya
menyajikan film bersetting 1800an yang merupakan adaptasi dari buku. pasti perjuanganya
lebih besar dari film-film lain produksi Falcon.
0 comments