Memahami Konsep SJW yang Disalahgunakan Melalui Film
Sebenarnya julukan SJW atau kepanjangannya Social Justice Warrior atau bahasa Indonesianya Pejuang Keadilan Sosial adalah bentuk positif yang menggambarkan orang-orang dengan agenda membela progresivitas sosial macam hak sipil, feminisme, multikulturalisme, sampai dengan politik identitas. Sangat mulia bukan?
Tapi sayangnya julukan SJW belakangan ini mulai berkonotasi negatif seiring maraknya bertebaran para SJW di media sosial saat ini. Kenapa menjadi berkonotasi negatif? Karena banyak sekali yang mengaku sebagai SJW namun tidak berbicara atau berpendapat menggunakan rasionalitas maupun akal sehat sehingga SJW ini lebih cocok disebut sebagai orang - orang berpikiran radikal yang memaksakan pendapat mereka dan marah ketika orang tidak setuju dengan mereka.
Ini bedanya... |
Pendapat yang paradoks, sifat standar ganda dan penyebaran hoax sudah menjadi sifat umum dari para SJW modern. Bagi sebagian besar orang, SJW adalah sekumpulan orang yang 'annoying' karena kelompok ini dianggap kerjanya hanya mencari cari keributan dengan mempermasalahkan hal yang sebenarnya bukan masalah. Umumnya kita dapat menemukan mereka di twitter dengan cirikhas sangat mudah untuk "triggerred!" dan "offended!" terutama apabila ada pembahasan masalah LGBTQ, Wanita, Ras dan Disabilitas.
Sebenarnya hal tersebut bukanlah masalah besar kalau tidak ditanggapi. Tetapi yang jadi masalah adalah sikap mereka tersebut dianggap keren bagi sebagian orang sehingga mulai banyak yang mempercayai dan mengikuti jejaknya. Mulai dari hal paling sederhana, keluarga yang awalnya harmonis tiba² sang istri berubah karena merasa "dimanfaatkan" suami lalu mulailah terjadi hal² yang tidak seharusnya seperti tidak mau disentuh suami karena menganggap tubuh adalah milik pribadi bukan milik suami atau merasa suami yang meminta tolong tidak perlu dihiraukan karena istri bukan pesuruh suami dan sebagainya. Ditambah lagi mereka bahkan membagikan tips sejenis 'bagaimana suami tidak menyuruh-nyuruh lagi' yang sangat tidak make sense lah. Tentu saja hal tersebut baik langsung atau tidak langsung sebenarnya merugikan dia bahkan keluarganya. Bahkan, kalau kita lihat di pengadilan agama, kasus perceraian oleh muda-mudi menurut beberapa studi banyak yang terindikasi karena hal ini.
SJW yang kerap mentwit berdasar emosional dengan menyebarkan hoax |
Mungkin hal diatas berlaku untuk mereka yang masih di level 'dipengaruhi'. Masih ada level diatasnya yaitu 'Influencer' yang memaksakan agenda atau keinginan mereka sendiri dengan cara yang sebenarnya lebih 'keren' karena jauh lebih soft dan tidak barbar seperti SJW di twitter. Misalnya saja mereka memasukkan pengaruh mereka dalam media macam game, film, dan berita. Apakah salah? Sebenarnya tidak juga. Tapi sayangnya menjadi terlalu bebas dan kebablasan sehingga dampaknya pasti buruk. Bayangkan kasus yang pernah muncul macam Star Wars Episode VIII: The Last Jedi atau The Last of Us Part II yang dikritik habis-habisan karena mengorbankan esensi jalan cerita yang seharusnya menjadi segalanya dengan memaksakan hal - hal macam hubungan seksual sesama jenis, keberagaman, hingga sosok wanita yang sebenarnya tidak relevan.
Berkuasanya SJW negatif di tingkat influencer inilah yang sebenarnya berbahaya. Terkadang mereka ini juga dipercaya misalnya menjadi petinggi dalam dunia film seperti sutradara yang dapet penghargaan oscar lagi, hal yang membuat pengaruhnya semakin kuat. Sebenarnya masih banyak lagi pengaruh SJW khususnya dalam film yang justru akhir-akhir ini jadi top notch, saya sebutkan 7 saja agar tidak kebanyakan
1. Enola Holmes (2020)
Saya yakin masih pada ingat film yang iklannya sering muncul di iklan Youtube sampai ads di blog² monetized. Akting Millie Bobby Brown yang terbilang bagus di usia yang sangat muda. Sayang filmnya menurut saya hanyalah agenda SJW yang sedang menyebarkan pengaruh feminisme dengan terlalu maksa sehingga mengesankan kalau film ini hanya numpang "marga Holmes" dan karya Sir Arthur Conan Doyle. Sebelumnya mohon maaf saya kurang suka film sejenis ini bukan karena saya tidak mendukung kesetaraan gender dan feminisme, tapi saya benci pengaruh SJW yang hanya "nyampah" di Hollywood dan merusak cerita yang memang kebetulan tokoh utamanya pria dan sukses. Hal tersebutlah juga yang membuat ulasan film ini buruk.
Cobalah kalau mau buat karakter utama wanita yang hebat dan diapresiasi, misalnya dalam film Alien (1979) dengan karakter Ripley yang diperankan oleh Sigourney Weaver. Di film ikonik ini sosok Ripley adalah wanita hebat dan pintar sehingga tidak mati ketika xenomorph membunuh satu - persatu awak kru kapal. Seharusnya seperti itu, menciptakan karakter wanita hebat dan tangguh dengan kreativitas yang baru bukan justru memaksakan karakter wanita di cerita yang sebenarnya terkenal berkat karakter pria nya dan sudah melekat sekali karakternya. Seakan - akan Sherlock Holmes karakternya jadi misoginistik dan direndahkan dibandingkan karakter Enola. Saya pikir, mau menyuarakan feminisme namun dengan cara merendahkan derajat pria sekaligus menurunkan standar karakter yang sudah ikonik sangat tidak bijak. Jadi apa bedanya SJW yang merendahkan pria dengan pria yang merendahkan wanita?
2. Trilogi Star Wars
Semenjak George Lucas pada tahun 2012 menjual perusahaan miliknya yaitu LucasArt kepada Disney, dari situ saya menduga bahwa Star Wars akan menjadi waralaba film yang akan diperas untuk keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Disney. Terbukti dari kemunculan trilogi lanjutan dari Prequels Trilogy dan Original Trilogy.
Awalnya tentu saja saya senang dan bahagia karena Star Wars kembali ke bioskop dan saya bisa merasakan pembukaan epig yang khas. Tapi ternyata saya cukup kecewa dan merasa Star Wars tampak diperas dan dilukai, belum lagi soal konten-konten lain yang awalnya canon malah dibuat Disney sebagai konten legends. Star Wars episode 7, 8, dan 9 adalah film - film yang tidak mementingkan kepuasan para penggemar loyal Star Wars. Bagi saya pribadi, ketiga film ini hanyalah upaya Disney meraup keuntungan banyak, memaksakan kampanye SJW, memaksakan unsur politik, dan tentunya lebih diperuntukkan untuk pasar anak-anak yang taunya ledakan-ledakan di pertempuran luar angkasa itu adalah hal yang keren dan salah satu bentuk keseruan sehingga Star Wars saat ini sudah bukanlah mahakarya yang diciptakan George Lucas, tapi jadi penghasil uang Disney dan media pemuas SJW.
3. Mulan (2020)
Bagi saya film Mulan juga hanya produk gagal SJW saja. Perbandingannya dengan yang versi kartun jelas bagaikan langit dan bumi, ini kenapa saya tidak suka dengan upaya SJW yang ingin menampilkan karakter wanita kuat namun jatuhnya merusak apa yang sudah sempurna. Dalam film Mulan (1998), karakter Hua Mulan digambarkan sebagai sosok wanita yang pemberani namun masih masuk akal. Walaupun dia berani dan punya dedikasi tinggi untuk menggantikan ayahnya, namun tidak lupa juga bahwa sebenarnya secara realita dia tetaplah seorang wanita yang fisiknya akan kalah dengan fisik pria. Mulan dalam versi kartun tidak menyerah begitu saja walaupun sering diremehkan, direndahkan, dan kalah secara fisik.
Itu kenapa saya jauh lebih suka Mulan versi kartun, pengembangan karakternya jauh lebih dalam dan masuk akal, menunjukkan bahwa terlepas dari jenis kelaminnya wanita, pada akhirnya Mulan bisa disegani dan hebat karena kemauan serta tekatnya yang tinggi. Pengembangan karakter ini tidak saya temukan dalam versi live-action yang muncul di bioskop dan disney+. Di film tersebut malah menampilkan bahwa Mulan ternyata punya kekuatan istimewa yang dinamakan Chi, sesuatu yang terbawa olehnya sejak lahir. Oleh karena itu tidak heran Mulan menjadi karakter mary sue yang tiba-tiba hebat di dunia di waktu yang kental dengan budaya patriarki, tidak ada upayanya berjuang keras latihan dan tiba-tiba sudah seperti karakter Dynasty Warriors. Tau kan apa itu Dynasty Warriors?
Saya lebih mendapatkan pesan dan makna jauh dari versi kartun dibandingkan versi live-action, karena memang Mulan masih digambarkan sebagai karakter yang realistis dan penuh kekurangan, bukan digambarkan tiba - tiba sudah jago dan hebat dari sananya. Formula gagal yang sebelumnya juga terjadi pada karakter Rey di trilogi sekuel Star Wars.
4. Eternals (2021)
Saya sudah pernah mereview film ini di "Review film Eternals" Film ini disutradarai oleh sutradara wanita Chloe Zhao yang mana dia ini sutradara pemenang oscar lho. Mungkin yang baca ini bisa cari tau siapa Chloe Zhao? Hehe. Namun hal tersebut membuat orang jadi meragukan adalah karena dia merubah hampir keseluruhan jalan cerita dan karakter dari properti aslinya.
Sebagian diantaranya adalah merubah jenis kelamin 3 karakter sekaligus yaitu Makari, Sprite dan Ajak. Aslinya, ketiga karakter di komik adalah pria, di film diubah menjadi wanita. Ini membuat kisah cinta Sersi-Makari diubah menjadi Sersi-Ikaris. Di komik para Eternals ini setara dan kalaupun ada yang dianggap sebagai pemimpin atau Prime Eternals itu adalah Zuras. Zuras, eternals yang dianggap paling kuat dan itu tidak muncul di universe MCU. Perannya justru digantikan Ajak yang kelaminnya juga dirubah jadi wanita. Begitu juga dengan Prime Eternals yang baru pengganti Ajak yang juga wanita. Yang paling parah adalah melakukan Sexual Orientation swap. Gak main-main, yang dirubah ini karakter Phastos lho. Mungkin bisa bayangkan apa yang dirasakan para fans Phastos, misalnya anda normal lalu tiba-tiba karakter kesukaanmu dirubah jadi gay? Mungkin begitu pentingnya sampai sutradara Chloe Zhao khusus meminta adegan gay dalam film ini untuk tidak disensor termasuk untuk peredaran internasional. (Baca di: sini )
Perlu diketahui bahwa film ini sebenarnya sudah diputar secara ekslusif di hadapan banyak kritikus film dan ternyata pasca pemutaran ekslusif tersebut mulai munculnya kritikan pedas sampai bahkan membuat nilai Eternals (2021) berada di bawah 50%, menjadi film MCU dengan penilaian terendah sejauh ini. Banyak yang mengkritisi film ini sebagai upaya terlalu keras menyuarakan isu-isu tertentu namun terkesan gagal relevan dengan jalan cerita serta tema keseluruhan filmnya sehingga orang menyimpulkan kalau tujuan utama film ini sudah melenceng menjadi memperkenalkan superhero gay pertama MCU. Plot, cerita, karakter dan sebagainya nomer sekian.
Jujur saya sih tidak heran jika pada akhirnya banyak juga penonton yang menilai sedemikian rupa, karena memang film ini sudah kelihatan dari pemilihan aktor sampai sutradaranya saja cenderung memaksakan yang kerap kali disuarakan oleh mereka yang menjunjung mindset negatif SJW. Masalahnya, DC pun sudah kayak saudara kembar, fokus mengikuti sesuatu yang sebenarnya menyakiti kesetiaan para penggemarnya. Sudah seharusnya Marvel Studios berbenah dengan memberi film yang bagus kepada penonton, bukan apa yang diinginkan oleh segerombolan SJW twitter yang belum tentu juga murni menikmati kisah pahlawan super.
5. Cuties
Cuties menceritakan mengenai sekelompok anak kecil berusia 11 tahunan dengan latar belakang berbeda yang membentuk sebuah grup tari dewasa yang tariannya erotis. Iya, anak kecil karena mereka bahkan belum SMP kalau hitungan di Indonesia. Isu "keberagaman" atau "diversity" itu sedang digembar-gemborkan di luar negeri dan pada platform Netflix, banyak sekali film ataupun serial yang menggunakan banyak aktor dari berbagai ras atau etnis dengan kebudayaan mereka. Dan masih banyak film atau serial yang mengangkat tema-tema breaking through, membebaskan diri dari kebudayaan atau adat yang mengikat.
Pada dasarnya film ini niatnya baik, menyuarakan keharmonisan multikultural dan multietnis. Tapi jatuhnya justru malah seperti softcore child pornography, apalagi dari beberapa adegan di trailer yang menunjukkan pose atau pakaian yang sebenarnya lebih pantas diperankan oleh orang dewasa yang telah cukup umur. Saya tidak tau ide siapa ini, tapi pasti sekelompok orang yang memaksakan agenda SJW mereka. Hasil akhir dari film ini malah tampak lebih buruk dibandingkan harapannya. Secara tidak sadar, ada banyak pedofil di luar sana yang terangsang dan nafsu hanya dari melihat trailer saja, apalagi setelah nonton filmnya full. Ditambah lagi netflix merubah poster originalnya menjadi poster yang begitulah. Jadinya, film ini malah terkesan mengeksploitasi anak-anak di bawah umur. Ditambah lagi Maïmouna Doucouré yang mana dia adalah wanita berkulit hitam asal Senegal dan besar di Paris dengan latar belakang poligami dan tau lah berpandangan seperti apa, tapi harus membuat film yang sangat bertolak belakang.
6. Free Guy
Film komedi yang menurut saya terbaik di 2021. Menurut saya film ini banyak terdapat jokes dan sindiran yang cuman bisa dipahami sama GTA lovers atau paling tidak tau lah sama game GTA series. Secara keseluruhan, film ini bagus menurut saya. Karena membuat saya kita merasa "Akhirnya ada juga yang punya ide buat memfilmkan GTA Online".
Kalau mau jujur, sebenarnya film ini bisa dibilang sangat SJW dari premisnya. Skeptisisme, Absurditas dan Eksistensialisme hampir selalu digaung²kan di film ini. Namun, justru berkat ide yang orisinil, penonton merasa sangat terhibur dan tidak "terbebani" dengan agenda yang dibawa. Tapi ya memang begitu yang keren dari tekniknya, kita ketika menonton film pasti akan suka dengan sesuatu yang menghibur dulu, baru akan menangkap pesan moral yang disampaikan. Menurut saya ini salah satu contoh dari film yang masih memaparkan SJW yang belum menyimpang.
7. Borat
Sacha Baron Cohen, sepertinya memang sangat cocok berperan jadi agen Eli Cohen di The Spy. Loh kok The Spy? Ya karena bisa dibilang Cohen itu adalah sosok manusia berkemampuan layaknya agen yang mampu menginfluence orang tanpa sadar dan layak disebut sebagai SJW yang sebenarnya dibandingkan mereka yang sok keren dan sok berbeda di Twitter tapi aslinya hanya bermodalkan emosi. Seperti biasa, Cohen membawakan satir dan sindiran lewat komedi akan isu sosial dan isu politik terkini, khususnya di AS yang salah satunya di film Borat.
Walau bagi kebanyakan orang film Borat ini dianggap film mockumenter yang gajelas, sebenarnya banyak pesan filosofis yang ada di dalamnya. Justru dari film ini saya melihat bukan betapa konyol atau sensitifnya jalan ceritanya melainkan pesan yang disampaikan. Saya melihat film kedua ini jauh lebih kritis dalam menyinggung AS, terutama masalah COVID-19 dan politik yang panas di sana.
Saya belajar banyak dari Borat soal bagaimana SJW itu yang sebenarnya dibandingkan mereka yang ngaku SJW. Saya belajar bahwa terkadang kita terlalu sok tau dan percaya stereotipe akan negara lain yang bahkan belum tentu kita pernah kunjungi, saya belajar bahwa memang masih banyak di luar sana yang kurang teredukasi dengan baik dan termakan ego yang tinggi, sampai dengan saya belajar bahwa politik itu kotor dan membuat manusia rakus
Mungkin SJW di twitter perlu belajar bataimana membawakan isu sosial secara kreatif seperti yang dilakukan Cohen, bukan malah sok berbahasa campur aduk di Twitter, pasang foto profil dengan tagar ini itu, berkampanye gak jelas di story IG dan WA, dan apapun itu yang sebenarnya norak. Cohen adalah sosok SJW sejati dan juga sosok komedian sejati yang walaupun pembahasannya tampak konyol dan tidak jelas bagi sebagian orang, tapi tetap saja kritis dan menusuk. Saya rekomendasikan filmnya buat yang tidak bersumbu pendek dan berpikiran terbuka.
Akhir kata
Ini yang membuat saya kecewa dengan industri perfilman sekarang, khususnya Hollywood. Mereka ingin menampilkan wanita dengan alasan emansipasi dan alasan kesetaraan gender namun fokusnya bukan berdasarkan cerminan realita malah lebih ke arah imajinasi mereka, bukan fokus membangun karakter wanita yang banyak kekurangan namun berdedikasi tinggi untuk menyaingi karakter pria, tetapi malah membangun karakter wanita yang luar biasa hebat di tengah karakter pria yang konyol. Atau membuat karakter dengan fans yang banyak dengan segala kelebihan lalu dirubah jadi gay atau lesbi dengan memanfaatkan fanatisme penonton.
Percayalah, saya pribadi sebagai penulis ini tidak setuju dengan agenda SJW tidak menandakan bahwa saya benci orang LGBT, benci wanita, atau benci keberagaman, dan sebagainya, saya pribadi hanya kurang suka akan sesuatu yang dipaksakan tidak pada tempatnya. Inilah masalah yang diciptakan oleh para SJW modern, mereka mulai cenderung memaksakan kehendak hingga merengek agar mereka dipandang dibandingkan membela sungguh - sungguh suatu bentuk ketidakadilan dan tapi malah menodai hal justru menjadi esensi dari SJW itu sendiri apalagi kalau motivasinya adalah uang.
Perlu diketahui bahwa ajaran memuliakan wanita itu pada awalnya bertujuan agar pria tidak semena-mena terhadap wanita. Saya sangat setuju terhadap hal itu. Pria menyayangi wanita dan wanita menghormati pria, begitu idealnya. Namun hal tersebut jadi menyimpang menjadi kelompok² anti patriarki dan sejenisnya. Dari situ muncullah paham yang berbeda dari esensi dasarnya. Begitu juga dengan LGBT dimana pada dasarnya ajaran tersebut hanya agar kita tidak memusuhi orang dengan orientasi seksual seperti itu, namun sekarang justru menjadi kampanye yang terkesan untuk mengajak untuk menjadi LGBT dan menganggap hal tersebut normal secara psikologis.
Sekali lagi saya jelaskan bahwa SJW itu tujuan awalnya memang sangat baik. Mereka perkumpulan makhluk Tuhan yang baik. Tapi hal tersebut akan terlaksana jika niat dan tujuan mereka benar dan semata-mata demi kesejahteraan keadilan untuk manusia, bukan agar terlihat keren, mencari perhatian, merendahkan orang lain yang tidak sependapat, mendapat uang atau tujuan menyimpang lainnya.
Author: Mahendrayana Setiawan Triatmaja
0 comments